Bersinarlah Apoteker

Dengan lebih banyak bintang, semestinya apoteker lebih bersinar, bukan? (Bahkan saya dengar bintangnya jadi delapan). Tapi entah mengapa, sinarnya redup, bahkan nyaris padam. Suara apoteker begitu lemah, nyaris tak terdengar. Perbandingan jumlah tenaga kesehatan di rumah sakit dapat menunjukkan hal ini. Jumlah apoteker hampir selalu lebih sedikit dibanding tenaga kesehatan lain di suatu rumah sakit. Padahal kompetensinya jelas vital, obat dapat mencapai nyaris separuh biaya pengobatan.
Saat ini telah hadir PP 51 yang menegaskan peran dan domain apoteker sebagai tenaga kefarmasian dalam produksi, distribusi dan pelayanan obat. Namun persepsi para apoteker mengenai regulasi ini masih perlu ditelusuri.



Salah satu poin yang disambut antusias adalah bolehnya apoteker mengganti merek obat dalam resep. Buat saya, kabar ini biasa saja dan tiada yang hebat apalagi mempesona. Bahkan rasanya kebijakan ini masih setengah hati. Memangnya kenapa kalau apoteker boleh mengganti resep? Bukannya dari dulu memang tidak dilarang?
Penjelasan tentang ayat tersebut menerangkan kondisi dimana apoteker boleh mengganti obat, yakni ketika pasien tidak mampu menebus obat. Pasien semestinya dapat menggunakan hak pilihnya. Orang kaya pun kalau mau, berhak meminta obat generik. Tidak semua orang obat bermerek-minded. Banyak juga yang berfikir, ia makan obatnya, bukan mereknya.
Tapi harus diakui PP 51 telah menegaskan kembali kompetensi dan wewenang apoteker dalam hal obat. Dari hulu ke hilir, terus mengalir. Setelah tongkat estafet domain obat itu diserahkan pada apoteker, mampukah kita mengemban kepercayaan itu dengan baik? Dapatkah pendidikan profesi apoteker yang belum ada yang terakreditasi itu menghasilkan apoteker yang kompeten?
Mungkin pertanyaannya memang bukanlah bisa atau tidak bisa, tapi mau atau tidak mau. Ya, kita harus bisa, dan harus mau.

Dikutip dari Portal Apoteker

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Komentar